Jumat, 19 Maret 2010




"EKSISTENSI PEMANGKU ADAT LIO"

Ende dan Lio sering disebut dalam satu kesatuan nama yang tidak dapat
dipisahkan yaitu Ende Lio. Meskipun demikian sikap egocentris dalam
menyebutkan diri sendiri seperti: Jao Ata Ende atau Aku ata Lio dapat
menunjukan sebenarnya ada batas-batas yang jelas antara ciri khas kedua
sebutan itu. Meskipun secara administrasi masyarakat yang disebut Ende
dan Lio bermukim dalam batas yang jelas seperti tersebut di atas tetapi
dalam kenyataan wilayah kebudayaan (teritorial kultur) nampaknya lebih
luas Lio dari pada Ende. Lapisan bangsawan masyarakat Lio disebut
Mosalaki, Boge, Hage dan Ria bewa. Struktur kebangsawanan masyarakat
Lio dalam beberapa pandangan kadang - kadang sering ditempatkan pada
posisi yang keliru sehingga menggelitik rasa ingin tahu penulis
terhadap beberapa pandangan tersebut. Inti rasa ingin tahu penulis
tentu mengerucut pada; Siapakah Mosalaki, Boge, Hage dan siapakah Ria
bewa ? Oleh karena itu, penulis ingin mengungkapkan fakta yang benar
supaya tidak terjadi anggapan yang keliru dikemudian hari. Menurut
Sistem adat Lio, Pemangku adat Lio terdiri atas beberapa klasifikasi
gelar kebangsawanan yaitu;

1. Mosalaki

2. Boge

3. Hage

4. Ria Bewa

Dari
semua sesepuh adat ini tentu mempunyai tugas dan wewenang masing -
masing berdasarkan perjalanan sejarahnya yang menentukan gelar - gelar
tersebut sehingga gelar tersebut kerap menjadi julukan untuk menunjukan
identitas para pemangku adat Lio.

1. 'Mosalaki', kata ini
bermula dari bahasa Lio dan terdiri atas kata Mosa dan Laki. Kata Mosa
adalah Satu bentuk kata tunggal yang artinya Jantan Besar, menurut
hemat penulis kata ini digolongkan kata tunggal karena kata mosa tidak
mengandung makna lain selain jantan besar, sedangkan Laki adalah bentuk
kata jamak mempunyai arti luas yaitu;
1. Hak/Memiliki dalam arti mempunyai kekuasaan yang besar, dan
2.
Hak/memiliki dalam arti penentuan pilihan pasangan hidup, sehingga
Orang Lio berpandangan bahwa untuk mengetahui berapa jumlah istri
kepada seseorang lelaki, bisa diketahui melalui jumlah ubun - ubun
dikepala laki - laki. Namun demikian, hal ini tidak dapat ditampik
mana kala munculnya fenomena pada sosok seseorang mosalaki yang
mempunyai istri banyak. Menyingkap kata 'Mosalaki', Secara historis
antara Ngada dan Ende Lio serta Palu'e mempunyai tata cara tradisi dan
pranata yang hampir sama meskipun ada perbedaan - perbedaan yang jauh
lebih mendasar. Hal ini tentu karena dipicu oleh perjalanan sejarah itu
sendiri yang mana Orang ende Lio meyakini Seluruh suku didaratan Flores
mempunyai leluhur yang sama. Justru yang membuat adanya sedikit
perbedaan adalah faktor pengaruh budaya yang datang dari luar.
Contohnya Orang Ende Lio menyebut kepala suku sebagai Mosalaki, tetapi
orang Bajawa/Ngada menyebutnya Mosadaki atau Mosaraki atau juga
Mosalaki sedangkan orang dari pulau Palu'e menyebutnya terbalik yaitu;
Lakimosa. Sama halnya dengan suku Ngada dan palu'e tadi, dalam Sistem
adat suku Ende Lio, Legitimasi seorang Mosalaki berada dalam posisi
puncak tertinggi dan mempunyai kekuasaan yang mutlak atas tanah dan
wilayah kedaulatannya (teritorial). Sehingga muncul istilah dalam
bahasa Lio yaitu; 'Mosa' eo Ka Fara No'o Tana, 'Laki' Eo Pesa Bela No'o
Watu', Yang kalau diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia berarti
Mosalaki dapat menyatuhkan diri, duduk dan bersantap bersama Tanah dan
Batu. Pengertian (Tana, watu) Tana dan Batu disini dalam perspektif
Orang Lio adalah sebagai simbol Penguasa Bumi yaitu 'Nggae Ghale Wena
Tana' selain Babo Mamo (nenek moyang) wujud Roh Para Leluhur orang Lio
sendiri.

2.
(Boge). Boge ria, Boge Bewa: Dalam bahasa Indonesia artinya Gumpalan
daging yang Besar dan panjang. Deretan sejarah suku Lio mencatat bahwa
Gelar kebangsawanan Boge ria, Boge bewa adalah Sebagai bentuk
penghargaan sangat tinggi kepada seorang Tokoh pejuang yang dianggap
paling berjasah dan berjiwa patriotis kepada persekutuannya pada saat
berperang untuk merebut wilayah dari pihak luar. Gelar ini memang
pantas disandang bagi orang yang terlibat langsung dan memenangkan atau
bahkan yang gugur dalam medan perang. Sosok orang ini tentu telah
menjadi ujung tombak dan memainkan instumen penting selaras dengan
strategi dan kekuatan terdasyat yang digunakan untuk memenangkan
peperangan. Tentu hal ini juga dimaksudkan agar dapat menjadi momok
yang menakutkan kepada pihak lawan. Sehingga, sebagai tanda jasah,
mereka dianugerahi bagian tanah dari hasil kemenangan. Selain itu,
sebagai bentuk pembuktian atas jasah - jasahnya, pada setiap perhelatan
- perhelatan akbar ritus adat Lio, misalnya; Upacara pengukuhan
pemangku adat Lio, mereka berhak mendapatkan potongan Daging
Babi/kerbau yang sangat besar dan panjang sebagai pengakuan eksistensi
mutlak kehadiran sosok patriotis ini.

3.
(Hage). Hage Ria, Hage Lo'o, dalam terjemahan harfia bahasa Indonesia
adalah Besar seadanya dan kecil seadanya. Selain Boge ria, Boge Bewa,
Suku Lio juga mencatat gelar kebangsawanan Hage ria, Hage Lo'o. Tentu
gelar ini juga disandang oleh seseorang yang dianggap berjasah kepada
Persekutuannya meskipun tidak sebesar jasah Boge Ria, Boge bewa tadi.
Walaupun demikian, kehadiran sosok - sosok ini tentu tidak bisa
disepelehkan sehingga untuk menghargai jasah - jasahnya, mereka
dianugerahi sedikit bagian tanah dari hasil peperangan. Selain itu sama
seperti Boge ria, Boge bewa tadi, mereka juga berhak atas potongan
daging babi/kerbau meskipun kecil dan seadanya dalam setiap perhelatan
ritual pengukuhan pemangku adat Lio. Ini adalah sebagai bentuk
pengakuan eksistensi kehadiran sosok para pejuang tersebut. Oleh karena
itu, tidaklah mengherankan jika terkadang dalam perhelatan ritual adat,
kerap muncul reaksi ekstrim yang luar biasa manakala terjadi kekeliruan
dalam pembagian jatah daging. Menurut pandangan penulis, ini bukan
hanya sekedar onggokan daging melainkan sebagai simbol pengakuan
eksistensi dari Tokoh - Tokoh ini atas jasah - jasahnya.

4.
Ria Bewa: Secara harfia kalimat Ria Bewa dapat diartikan besar dan
panjang sehingga kalimat ini menjadi rumusan kekuasaan yang besar dan
panjang. Akan tetapi kalimat ini terkadang mengecohkan beberapa
pandangan yang menjadi keliru sehingga muncul kalimat 'Mosalaki Ria
Bewa'. Sebenarnya kalimat Ria Bewa itu berdiri sendiri tidak dapat
disandingkan dengan kata mosalaki. Hal ini tentu didasari oleh peran
Ria Bewa itu sendiri yakni sebagai Panglima tinggi dan sebagai Juru
Bicara pemersatu setiap mosalaki suku Lio sehingga kekuasaan dan
perannya sangat Luas. Meski Demikian, Ria Bewa tidak menguasai batas -
batas di setiap tana Ulayat pada setiap kekuasan mosalaki. Ini berarti
Kekuasaan Ria Bewa hanya bersifat adminisratif kewilayahan sehingga
muncul istilah dalam bahasa Lio yaitu; 'Ria Tana Iwa, Bewa Watu La'e'.
yang berarti Ria Bewa tidak berkuasa atas tana di seluruh wilayah
teritoral Mosalaki. Selain itu Ria Bewa juga dapat juga disebut dengan
istilah : "Ria to talu rapa sambu no'o ata mangu lau, Bewa to tewa rapa
rega no'o ata laja ghawa", yang artinya Ria Bewa berperan sebagai
penyambung lida para mosalaki disekitar tanah persekutuan Lio (Lise)
dengan orang Luar yang menegaskan bahwa Ria Bewa sebagai juru Bicara
tadi. Fakta - fakta ini adalah implikasi dari peranan Ria Bewa itu
sendiri. Meski demikian, peran Ria Bewa juga tentu sangat Strategis
dalam membangun pilar - pilar persatuan antar para sesepuh adat Lio
secara menyeluruh.
Catatan;
Dari semua info yang dipaparkan disini, penulis sengaja menyampaikan
hanya ringkasan secara umum. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga etika
dalam penyampaian informasi agar tidak terjadi perbedaan presepsi.
Terima Kasih...
Sekian,



Penyunting : Joehanez Paulinooz Amaraya
Mahasiswa Universitas Flores ( UNIFLOR )
Ende, NTT Indonesia
Sumber : FB dari grup ENDE LIO


Tidak ada komentar:

Posting Komentar